Pertempuran Bulge ( (16 Desember 1944 – 25 Januari 1945)
adalah pertempuran paling berdarah dan terbesar yang melibatkan Amerika Serikat
pada Perang Dunia II dan Jerman ada di pihak lawan.
Namun, sebuah keajaiban terjadi di tengah pertempuran yang
menewaskan puluhan ribu orang tersebut.
Kala itu, malam Natal 1944, seorang bocah laki-laki dan
ibunya berada di dalam pondok kayu mereka yang berada di hutan di wilayah
Ardennes, Belgia. Sang ayah, yang berprofesi koki, diterjunkan dalam
pertempuran untuk membantu pihak Jerman.
|
Ilustrasi 1: Kondisi tentara AS berlindung di tengah salju saat
perang melawan Jerman dalam pertempuran Bulge. |
Di sanalah, Elisabeth Vincken dan putranya, Fritz berlindung
dari cuaca beku, juga dari pasukan musuh yang bersembunyi di pedesaan, yang
siap menerjang. Tiba-tiba, suara mencurigakan terdengar. Seperti ada seseorang
datang.
Pintu pun dibuka. Jantung Nyonya Vincken serasa copot saat
menemukan sekelompok tentara AS di depan rumahnya dan salah satu dari mereka dalam
kondisi terluka.
Mati-matian ia menyingkirkan perasaan khawatir bakal
dieksekusi mati karena menolong tentara musuh. Demi kemanusiaan, ia mengizinkan
para serdadu AS itu masuk ke rumahnya.
|
Fritz Vincken muda |
Perempuan mulia itu tak bisa bicara Bahasa Inggris.
Sementara, tentara AS tak bisa Bahasa Jerman. Namun, mereka akhirnya bisa
berkomunikasi dengan Bahasa Prancis.
Tak lama kemudian, ketukan keras terdengar dari arah pintu.
Nyonya Vincken takut bukan kepalang, ia khawatir bisa jadi tentara Jerman yang
datang. Maka, ia membuka pintu secara perlahan, dan perkiraannya benar.
Pikirannya berkecamuk hebat. Ada kemungkinan para tentara
Jerman tak punya belas kasihan dan bakal menembaki serdadu-serdadu AS yang ia
tampung.
|
Ilustrasi 2 : Kondisi Nyonya Vincken meminta tentara Jerman untuk
menanggalkan senjatanya. |
Perempuan hebat itu lalu melangkah keluar. Kepada para
tentara Jerman, ia berjanji akan menyediakan makan malam yang disajikan panas
dan meminta mereka menanggalkan bedil yang tersandang -- syarat serupa yang
dimintanya pada pihak AS.
Dan karena itu adalah malam Natal, Nyonya Vincken mengatakan
pada para serdadu, ia sedang menerima tamu lain.
Maka, anggota pasukan Jerman itu pun masuk ke dalam pondok.
Suasana sungguh canggung ketika dua pihak yang berlawanan itu saling tatap.
Akhirnya, salah satu serdadu Jerman, seorang paramedis,
memecah kebekuan dengan menawarkan bantuan membalut luka tentara AS yang
cedera.
Fritz Vincken, yang kala itu masih bocah, menceritakan
kembali insiden tersebut dalam wawancara dengan WII History Network.
Ia menceritakan, sang ibu akhirnya kembali ke dapur.
Memasukkan bahan-bahan tambahan pada setup (Setup adalah suatu cara membuat masakan menjadi empuk dengan
jalan memanaskan makanan seperti daging yang sudah digoreng atau sayuaran yang
sudah direbus dengan sedikit air dan menggunakan api kecil. Dengan cara ini
bumbu masakan akan lebih meresap dan makanan akan menjadi lebih empuk) yang sedang dimasak.
|
Ilustrasi 3 : Tentara Jerman dan AS makan semeja dalam
perayaan natal |
Kemudian dua pihak berseteru itu duduk menghadap meja makan,
bersama tuan rumah, menikmati makan malam yang hangat. Setelahnya, seorang
tentara Jerman -- eks mahasiswa kedokteran -- mengobati luka serdadu AS.
"Lalu, Ibu membaca Alkitab dan menyatakan bahwa ada
setidaknya satu malam yang damai di tengah perang, pada malam Natal di Hutan
Ardennes," kata dia.
"Setelah beristirahat cukup, para tentara saling
mengucapkan selamat tinggal dan berpisah jalan. Tentara Jerman memberitahukan
pihak AS jalan menuju kamp Amerika, dan memberikan kompas agar mereka bisa
menemukannya."
Fritz menyebut, kepribadian kuat dan kebaikan hati sang ibu
mungkin membuat pihak Jerman tak menangkapnya (atas tuduhan membantu musuh).
"Tempat untuk beristirahat, makanan hangat, dan tempat berlindung dari
udara beku. Mereka sungguh menghargainya."
Nyonya Vincken tak sempat bertemu dengan orang-orang yang ia
tolong, namun Fritz bertemu kembali dengan dua serdadu AS. Kini, ia bahkan
tinggal di Hawaii.
"Beberapa tahun telah berlalu sejak pertempuran paling
berdarah dalam semua perang itu. Namun, kenangan malam itu di Ardennes (Belgia) tak
pernah lekang dari ingatan. Kekuatan batin dan intuisi seorang perempuan hebat,
telah mencegah pertumpahan darah yang mungkin terjadi," kata Fritz.
Apa yang dilakukan sang ibu, menurut Fritz, menjadi bukti
bahwa 'kehendak Tuhan melampaui kehendak manusia'.
"Saya akan selalu ingat sosok seorang ibu dan tujuh
tentara muda, yang bertemu sebagai musuh, namun berpisah sebagai teman, di
tengah Pertempuran Bulge."
==============================================================
Sumber Tulisan dan gambar 1: Nurul Basmalah, 2016, 3 Bukti Masih Ada Rasa Kemanusiaan di Tengah Perang Dunia II, http://global.liputan6.com/read/2665187/3-bukti-masih-ada-rasa-kemanusiaan-di-tengah-perang-dunia-ii, diakses 16 Maret 2017.
Sumber Gambar Fritz Vincken: Joalena
Ashmore, 1997, Interview
of Fritz Vincken, http://ba-ez.org/educatn/lc/oralhist/vincken.htm, diakses 16 Maret 2017
Sumber Gambar 2 dan 3: NN, 2012, Un cuento de Navidad en medio de la II Guerra Mundial, http://www.jetcero.com/?p=4500, diakses 16 Maret 2017.